Sering orang
berpikir bahwa sebuah pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang terjadi
ketika suami dan istri sama-sama sudah mapan, memiliki pekerjaan dengan gaji
yang menjanjikan, memiliki rumah yang berdiri di atas tanah sendiri, memiliki
perencanaan masa depan yang matang, sudah memilih lokasi bulan madu, dan
seterusnya. Wajar jika orang berpikir demikian, sebab membangun sebuah keluarga
yang dibingkai oleh indahnya sebuah pernikahan merupakan hal yang tidaklah
gampang. Untuk maju ke arena pernikahan saja harus ada berbagai tahapan yang
harus dilalui, mulai dari pembicaraan keluarga, adat yang harus diselesaikan
hingga resepsi nikah yang tentu menelan biaya tidak murah.
Namun, apakah
orang sering berpikir bahwa cinta yang melandasi sebuah pernikahan justru tak
memandang materi? Apakah orang sering berpikir bahwa tanpa ada rumah yang
berdiri layaknya istana pun seseorang bisa menikahi dia yang dicintai? Kisah seorang
Plato di bawah ini mungkin perlu disimak untuk sekedar melihat bahwa cinta itu
tak bermateri.
Suatu hari,
Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya?” Gurunya
menjawab, “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tak
boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan
ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan
cinta”
Plato pun
berjalan dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa
membawa apapun.
Gurunya
bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku
hanya boleh membawa satu saja ranting, dan saat berjalan aku tidak boleh mundur
kembali. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak
tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil
ranting tersebut. Saat kuberjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa
ranting-ranting yang kutemukan tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil
sebatangpun pada akhirnya.” Gurunya kemudian menjawab, “Jadi, ya itulah cinta.”
Di hari yang
lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana aku bisa
menemukannya?” Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur di depan sana.
Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali dan kamu hanya boleh menebang satu pohon
saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena
artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun
berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut
bukanlah pohon yang segar atau subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu
biasa-biasa saja.
Gurunya
bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab,
“sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah
hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi, dikesempatan ini, aku
lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk
menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkannya.” Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”
Bukahkah cinta
yang melandasi pernikahan itu tak melihat harta yang demikian besar
pengaruhnya? Bandingkan saja, jika pernikahan itu tak melihat cinta sebagai
dasarnya, tetapi melihat kematangan harta sebagai ukurannya, tentu semua orang
tak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Ia akan berusaha mencari
orang lain yang lebih matang, yang sudah ada persiapan, yang sudah kaya, yang
sudah punya rumah sendiri, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa apa yang
dimilikinya saat ini adalah yang terbaik. Pencariannya justru akan membawanya
pada titik nol, dimana ia tidak memperoleh apa pun.
Di lain
kisah, ketika seseorang menemukan pasangannya yang biasa-biasa saja, tak
bermateri, tak memiliki sebidang tanah pun untuk dijadikan rumah, dan
sebagainya, namun ia sungguh mencintai orang tersebut dan tetap memilih orang
itu sebagai pasangan yang mendampinginya di sebuah pernikahan, maka ia telah
mendapatkan apa yang ia cari. Apa pun yang belum dimiliki masih bisa
diperjuangkan. Harta masih bisa dicari, rumah masih bisa dibangun, tapi
pasangan hidup yang dimahkotai indahnya pernikahan hanya datang sekali saja.