Senin, 24 April 2017

Ini Cara Praktis Tumbuhkan Kegemaran Membaca Anak


Ungkapan “Buku adalah jendela dunia” yang kemudian disambung dengan “Membaca adalah kuncinya” secara jelas menggambarkan betapa besar manfaat yang diperoleh dari kegiatan membaca. Dengan membaca, seseorang dapat memperluas pengetahuannya, dan kemudian mampu memposisikan dirinya dari keadaan tidak tahu menjadi tahu. Sayangnya, tidak semua orang gemar membaca. Oleh karenanya, sangat baik jika kegemaran membaca ditumbuhkan dalam diri anak sejak dini.

Lingkungan keluarga, terutama orang tua memiliki peran krusial dalam menumbuhkan kegemaran membaca dalam diri anak. Gemar membaca ini dapat ditumbuhkan sejak anak berusia 2 tahun, setelah anak telah mampu mempergunakan bahasa lisan. Cara yang mudah dilakukan ialah dengan membacakan ceritera yang disukai oleh anak. Membacakan ceritera yang dapat dilakukan pada saat anak hendak tidur atau pun di waktu lainnya ini diyakini dapat memotivasi anak untuk gemar membaca.

Dalam tipsnya, Moya Dixon menjelaskan bahwa anak-anak akan sangat senang ketika mendengar sebuah ceritera menarik dibacakan untuk mereka. Saat itu, anak diberikan pertanyaan tertentu terkait apa yang dibaca. Anak juga diijinkan untuk membaca satu atau dua baris, tetapi yang paling utama ialah proses membaca harus dilakukan dengan penuh cinta, pemahaman, dan juga kasih sayang. Bacalah buku yang menginspirasi, memotivasi, dan buku yang disukai oleh anak-anak.

Selain itu, sesekali anak perlu dibawa ke perpustakaan dan ditunjukan bagaimana caranya membaca di perpustakaan guna meningkatkan kecintaannya pada buku. Kebiasaan seperti itu hendaknya terus diupayakan, sehingga anak memiliki disiplin membaca. Jika terus-menerus dilakukan, sudah tentu anak akan gemar membaca dan semua jenis bacaan akan dilahap habis olehnya. 

Senin, 15 Agustus 2016

Harta Masih Bisa Dicari, Rumah Masih Bisa Dibangun, Tapi Pasangan Hidup Hanya Datang Sekali Saja


Sering orang berpikir bahwa sebuah pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang terjadi ketika suami dan istri sama-sama sudah mapan, memiliki pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan, memiliki rumah yang berdiri di atas tanah sendiri, memiliki perencanaan masa depan yang matang, sudah memilih lokasi bulan madu, dan seterusnya. Wajar jika orang berpikir demikian, sebab membangun sebuah keluarga yang dibingkai oleh indahnya sebuah pernikahan merupakan hal yang tidaklah gampang. Untuk maju ke arena pernikahan saja harus ada berbagai tahapan yang harus dilalui, mulai dari pembicaraan keluarga, adat yang harus diselesaikan hingga resepsi nikah yang tentu menelan biaya tidak murah.

Namun, apakah orang sering berpikir bahwa cinta yang melandasi sebuah pernikahan justru tak memandang materi? Apakah orang sering berpikir bahwa tanpa ada rumah yang berdiri layaknya istana pun seseorang bisa menikahi dia yang dicintai? Kisah seorang Plato di bawah ini mungkin perlu disimak untuk sekedar melihat bahwa cinta itu tak bermateri.

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya?” Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tak boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”

Plato pun berjalan dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja ranting, dan saat berjalan aku tidak boleh mundur kembali. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kuberjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya.” Gurunya kemudian menjawab, “Jadi, ya itulah cinta.”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana aku bisa menemukannya?” Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar atau subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi, dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.” Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”

Bukahkah cinta yang melandasi pernikahan itu tak melihat harta yang demikian besar pengaruhnya? Bandingkan saja, jika pernikahan itu tak melihat cinta sebagai dasarnya, tetapi melihat kematangan harta sebagai ukurannya, tentu semua orang tak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Ia akan berusaha mencari orang lain yang lebih matang, yang sudah ada persiapan, yang sudah kaya, yang sudah punya rumah sendiri, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa apa yang dimilikinya saat ini adalah yang terbaik. Pencariannya justru akan membawanya pada titik nol, dimana ia tidak memperoleh apa pun.

Di lain kisah, ketika seseorang menemukan pasangannya yang biasa-biasa saja, tak bermateri, tak memiliki sebidang tanah pun untuk dijadikan rumah, dan sebagainya, namun ia sungguh mencintai orang tersebut dan tetap memilih orang itu sebagai pasangan yang mendampinginya di sebuah pernikahan, maka ia telah mendapatkan apa yang ia cari. Apa pun yang belum dimiliki masih bisa diperjuangkan. Harta masih bisa dicari, rumah masih bisa dibangun, tapi pasangan hidup yang dimahkotai indahnya pernikahan hanya datang sekali saja. 

Senin, 25 Juli 2016

PENDIDIKAN SEKSUALITAS KOMPREHENSIF BERBASIS LITERASI DALAM KELUARGA

Ilustrasi
Belakangan ini kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang sebagian besar masih berada di bawah umur merupakan salah satu kasus yang meningkat secara signifikan di negara ini. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi menyita perhatian bahkan menimbulkan amarah serta kekecewaan publik. Di sisi lain, hal ini membuat publik seolah tersadar bahwa perempuan di negara ini tengah diacam oleh para pelaku yang tak bermoral. Mengapa tidak? Dalam tahun ini, Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan kasus yang berada di peringkat kedua dari sekian banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menyebutkan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia meningkat 100% dari tahun-tahun sebelumnya.

Publik pun kemudian dihantui oleh berbagai pertanyaan termasuk pertanyaan mengenai latar belakang terjadinya berbagai hal tersebut dan solusi tepat untuk mengatasinya. Ada beragam opini terhadap pertanyaan di atas. Sekretaris KPAI, Rita Pranawati misalnya, berpendapat bahwa rendahnya pendidikan seksualitas di kalangan keluarga menjadi faktor penyebab timbulnya berbagai kasus kekerasan seksual (Liputan6.com, 4/4/2016). Apa pun itu faktornya, yang pasti bahwa kekerasan seksual terhadap anak dan kaum perempuan tidak akan berhenti apabila hanya menjadi bahan perbincangan semata. Perlu ada tindakan nyata, baik itu dari keluarga, para tokoh masyarakat, pendidik, maupun pemerintah.

Pendidikan Seksualitas Komprehensif

Hingga kini sebagian besar orang tua di Indonesia masih melihat seksualitas sebagai hal yang tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan. Anggapan ini menyebabkan orang tua menjauhkan anaknya dari berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan seksualitas komprehensif. Pola pikir ini juga secara tidak langsung menggiring orang tua untuk lebih cenderung memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan akademik anak ketimbang memperhatikan perkembangan emosi anak, karakter anak, hubungan sosial anak, pertumbuhan badan anak dan berbagai hal lainnya.

Merujuk pada hal di atas, perlu ada pemahaman bahwa pada dasarnya pendidikan seksualitas komprehensif berbeda dengan seks yang lebih menjurus pada hubungan badan antara pria dan wanita. Seksualitas komprehensif lebih berkaitan dengan aspek-aspek anatomis dan biologis serta aspek-aspek psikologis dan moral anak. Seksualitas komprehensif tidak hanya berhubungan dengan proses anak mengenal tubuh dan segala proses reproduktifnya, tetapi juga berkaitan dengan proses mengenal dan mengolah berbagai emosi yang ada dalam diri anak secara baik. Selain itu, pendidikan seksualitas komprehensif juga lebih memperhatikan unsur-unsur hak asasi manusia, nilai-nilai kebudayaan serta agama, sehingga pendidikan seksualitas tersebut mengarah pada pendidikan akhlak dan moral. Tujuannya ialah agar anak dapat diarahkan pada satu pemahaman mengenai penghargaan, bukan hanya penghargaan terhadap diri sendiri, tetapi juga penghargaan terhadap diri orang lain.

Pendidikan Seksulitas Komprehensif Berbasis Literasi

Bertolak pada pemahaman mengenai pendidikan seksualitas komprehensif, orang tua harus mampu meninggalkan pola pikir kuno sebab pada hakikatnya pendidikan seksualitas komprehensif akan berlangsung di dalam keluarga apabila orang tua memiliki kesadaran akan pentingya hal tersebut bagi tumbuh kembang anak. Di sisi lain, hal ini dapat terlaksana apabila orang tua tidak menitipkan seluruh tanggung jawab dalam proses pendidikan anak di tangan para guru di sekolah. Orang tua perlu terlibat dalam proses pendidikan anak, termasuk pendidikan seksualitas dengan meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak, mendengarkan curhatan anak, memperhatikan pola pergaulan anak, dll.

Pendidikan seksualitas komprehensif dalam keluarga sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan secara lisan oleh orang tua. Literasi (baca-tulis) merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat digunakan untuk memberikan pendidikan seksualitas bagi anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Pendidikan Indonesia, Anies Baswedan, literasi merupakan sebuah gerakan yang mengarah pada pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti anak. Di sini jelas terlihat kaitan antara pendidikan seksualitas komprehensif dan gerakan literasi yang mengarah pada pendidikan akhlak dan moral. Tidaklah salah apabila literasi dijadikan sebagai sebuah basis oleh orang tua untuk memberikan pendidikan seksualitas komprehensif dalam keluarga.

Orang tua dalam hal ini tidak perlu berpikir jauh mengenai apa yang harus dilakukan untuk memberikan pendidikan seksualitas komprehensif berbasis literasi bagi anak. Orang tua hanya perlu menghadirkan bacaan-bacaan mengenai pendidikan seksualitas komprehensif dan kemudian meluangkan waktunya untuk membaca buku tersebut bersama anak. Namun, ada baiknya jika orang tua memfilter (dengan membaca terlebih dahulu) bacaan yang akan dibaca bersama anak, sehingga bacaan tersebut memang benar-benar berkaitan dengan pendidikan seksualitas komprehensif. Di satu sisi, hal ini dimaksudkan agar pemahaman orang tua mengenai pendidikan seksualitas komprehensif bertambah, sehingga dalam proses baca bersama, orang tua bisa berperan menjadi guru yang baik bagi anak dengan menjelaskan berbagai hal yang belum dimengerti oleh anak.

Ketika anak memperoleh kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan membaca bersama di dalam keluarga dan dibimbing oleh orang tua, sudah tentu pengetahuannya mengenai pendidikan seksualitas akan berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena anak mengalami sebuah proses pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dari kedua orang tuanya. Selain itu, dalam proses ini tentu bukan hanya pengetahuan seksualitas anak yang akan berkembang, kemampuan membacanya pun turut berkembang, sebab secara tidak langsung hal ini mengarahkan anak untuk mencintai kebiasaan membaca.

Perkembangan kemampuan membaca akan mendorong anak untuk kemudian mengekspresikan apa yang ia baca dalam bentuk tulisan. Di sini, orang tua dapat membimbing anak untuk menulis berbagai hal yang berkaitan dengan perkembangan tubuh, perkembangan emosi, hubungan sosial, dll yang dialami anak selama masa pertumbuhannya. Dengan demikian, anak akan menemukan cara untuk mengekpresikan berbagai hal yang ia alami dan terbiasa untuk merefleksikan pengalaman hidupnya. Maka dapat dikatakan bahwa melalui pendidikan seksualitas komprehensif berbasis literasi, bukan saja pemahaman seksualitas anak yang meningkat, tetapi kemampuan membaca dan menulis anak pun akan berkembang. Lebih jauh, emosi dan perasaan anak pun bisa diekspresikan serta kedekatan hubungan antara orang tua dan anak pun semakin hangat.

Dengan demikian perlu disadari bahwa pendidikan seksualitas komprehensif harus terus digalakan, dimulai dari dalam keluarga. Hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua. Di sisi lain, langkah yang diambil oleh Kemendikud dengan membentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga menunjukan bahwa pemerintah secara pasti ingin menciptakan sebuah generasi masa depan yang cerdas dan bermoral melalui pendidikan yang melibatkan orang tua, masyarakat dan satuan pendidikan. Hal yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah membuka diri terhadap segala terobosan Kemendikbud, membuang pola pikir bahwa anak merupakan tanggung jawab guru dan kemudian terlibat aktif dalam proses pendidikan anak. (*)

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Pendidikan Cakrawala NTT edisi 52

Jumat, 22 Juli 2016

SEPENGGAL KISAH ANTARA KITA

Waktu telah mengalahkan segala-galanya, merengkuh segala sesuatu dan menariknya berputar bersamanya. Ia membawa segala sesuatu pada sebuah pergerakan, membuatnya tak lekang oleh apa pun dan mentahtahkan dirinya pada suatu singgasana dimana segala hal yang bernaung di bawah sayap bumi ini bergantung padanya.  Tak ada yang  mampu melawannya atau bahkan mencoba untuk menghentikan setiap detail pergerakannya. Mungkin hanya keabadian yang mampu mengalahkannya.

Waktu berbeda untuk setiap orang. Bagi para petani waktu adalah suatu perlombaan dasyat antara mereka dan alam, antara perjuangan membaca alam yang telah larut dalam perputarannya dengan tetesan keringat yang membanjir karena asa untuk mencapai hasil panen yang memuaskan. Bagi para tentara yang berjuang di medan pertempuran, waktu adalah napas antara ada dan tiada. Waktu membawa mereka pada suatu putaran hidup antara mengambil napas dan menghebuskan napas di medan laga, antara darah dan peluh. Waktu bagi mereka yang menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa adalah perjuangan untuk memerdekakan anak-anak negeri dari penjajah kelas wahid yang bernama kebodohan. Waktu adalah saat dimana ilmu itu diejawantahkan diantara gumpalan debu kapur tulis, amarah, kasih sayang, belas kasih dan kerinduan akan suatu mimpi, akan  apa yang dinamakan kesuksesan bagi anak didik.

Bagi para pelajar waktu adalah perjuangan  menggapai mimpi, meraih bintang, mengejar cita. Waktu adalah pergumulan antara ego manusiawi dan tuntutan untuk belajar, perkelahian antara keinginan untuk berleha-leha dengan tangan yang beradu di atas kertas atau pun kerja keras sel-sel otak yang merespons kerja mata yang tengah menatap lembaran-lembaran kata tentang ilmu pengetahuan. Pertikaian antara  Rasa dan napsu adalah  waktu bagi mereka yang sedang bercinta. Bagi mereka, waktu adalah saat dimana hati berbunga-bunga, kata-kata berirama dalam tatapan lembut penuh cinta dan gejolak antara hati dan pikiran yang sulit dimengerti oleh mereka sendiri. Waktu bagi mereka yang tanpa asa adalah pergolakan untuk menghentikan waktu itu sendiri, perjuangan untuk membebaskan diri dari selimut nasib dan usaha penarikan diri dari perputarannya.

Tetapi bagi kebanyakan orang waktu adalah uang. Waktu begitu berharga dan bernilai sehingga diidentikan dengan uang. Waktu seolah membuat segala sesuatu terjadi di dalamnya, sebegitu dekat dengan uang yang memungkinkan segala sesuatu bisa terjadi karenanya. Antara waktu dan uang...

Di dalam kerangkeng  yang sempit dan gelap ini, waktulah yang paling berkuasa atas diriku. Setiap Detaknya seolah meneriakan ejekan untuk diriku yang telah terlarut dalam setiap putarannya. Setiap derap langkah jarumnya seolah meratapi kekalahan antara dirku dengan uang yang sering kali diidentikan dengannya. Aku seolah sebutir gula yang berputar cepat dan kemudian mau tak mau harus terlarut dalam air yang diputar cepat dalam sebuah gelas kaca. Ia adalah raja tak terkalahkan di rungan sempit ini. Sementara aku hanyalah hamba yang patuh padanya, yang sesekali berharap agar ia mengantarkanku pada sebuah kebebasan seperti dahulu, kebebasaan dimana ia pun mampu kutundukan dengan kekuasaanku. Waktu pulalah yang menjadi saksi bisu setiap ratapanku di sudut kerangkeng kelam ini. Ia juga yang menjawab setiap tetes air mataku dengan suatu kepastiaan akan kenyataan bahwa aku  memang seorang yang telah kalah oleh uang. Diantara detaknya yang pasti sang penguasa tunggal, raja yang tak terkalahkan, saksi bisu tanpa kata itu berteriak padaku: “Kau  koruptor busuk!!!”.

Waktu kini memutar balikanku pada suatu periode, pada satu masa ketika rasa haus akan uang merongrong setiap inci hidupku, suatu periode silam ketika aku melakoni peranku sebagai sesosok manusia tak bermoral, seorang tanpa hati yang hanya diracuni oleh kedurhakaan dan ketamakan. Waktu menciptakan satu lorong panjang yang aku lewati dahulu ketika hati, pikiran, kata bahkan setiap tetes darahku pun seolah telah dikuasai oleh apa yang dinamakan uang. 

Berbeda dengan waktu, uang justru menjadi penguasa antagonis yang bisa saja menyeret manusia menjadi penjahat sekali pun dia adalah seorang beragama; pencuri sekali pun ia membaca Kitab Suci setiap hari; pembohong walaupun ia adalah seorang pencari kebenaran; perusuh sekali pun ia adalah pencinta damai; pelit walaupun ia dermawan; pendendam walaupun ia adalah seorang pencinta cinta. Sang antagonis ini menciptakan satu sensasi yang membuat mataku pun gelap dan hatiku pun tak berdaya. Uang menjadikan aku budaknya dan dengan sukses menjadikanku seorang koruptor sukses, seorang koruptor yang sukses masuk bui dan kembali menjadi hamba tak berdaya, penghitung detik demi detik pergerakan waktu.

Dahulu ketika uang membutakan mataku, aku mencuri dari kepunyaan orang lain, aku mengambil kepunyaan rakyat yang tak punya dan menjadikan semuanya kepunyaanku. Istri, anak dan keluargaku berfoya-foya di atas uang kepunyaan orang, padahal ada sejuta orang menderita karena berkekurangan. Aku membangun sebuah keluarga kaya dengan cara instan, bahkan aku turut membentuk karakter instan pada diri anak-anakku. Aku mengendarai mobil mewah dan memandang rendah orang-orang yang berjalan kaki di jalanan padahal dari orang-orang seperti itulah aku mencuri. Aku mendiami rumah mewah dan tidak memikirkan orang-orang yang tinggal di gubuk beralas tanah yang banjir setiap kali turun hujan, padahal dari suara merekalah aku menjadi seperti ini. Aku mengutak-atik handphone milik ku dan tertawa sinis melihat mereka yang tidak memiliki apa-apa padahal aku membeli dari uang mereka. Tanpa keringat yang bercucuran aku malah berleha-leha dan menikmati tetesan keringat mereka yang berjuang untuk kehidupan.

Namun, waktu kini telah menjawab semuanya. Di antara detaknya aku menemukan bahwa kekayaan instan yang aku dapatkan telah runtuh tak berbekas. Antara detaknya, suatu kenyataan bahwa keluargaku telah menjadi orang-orang terkucil yang setiap hari menjadi bahan bisikan semua orang “itu keluarga koruptor” ku dapat. Atara detaknya segala hal yang aku miliki hilang sirna, aku sendiri sukses menjadi penghuni ruangan sempit, gelap, pengap dan busuk yang dirajai oleh waktu, sang penjawab kepastian.

Putaran sang penguasa di ruangan kelam ini mengantarkan aku pada kesadaran bahwa uang bisa membeli segala hal yang aku inginkan, tetapi tidak dapat membeli kebahagiaan. Uang bisa membeli rumah, tetapi tidak dapat membeli kenyamanan. Uang bisa membeli makanan tetapi tidak dapat membeli kenikmatan makanan itu. Uang bisa membeli segalanya tetapi tidak bisa membeli kehidupan.

Sang penguasa itu terus berputar tanpa henti dan hidupku telah berlanjut dalam kekelaman. Di dalam kekelaman ini, aku hanya ingin agar tak ada lagi orang pintar yang menjadi bodoh karena uang, lalu mencoba untuk melakukan hal bodoh yang dirasa pintar, sama seperti yang aku lakukan. Aku hanya ingin agar tak ada lagi yang menjadi koruptor di negeri tumpah darah ini. Kawan, menjadi koruptor hanya mengantarkan hidupmu pada suatu titik antara. Antara tertangkap atau tidak, antara menjadi tahanan atau orang munafik, antara kaya mendadak atau miskin mendadak, antara sombong atau malu. Kalaupun antaramu di dunia ini tidak kau rasakan kawan, masih ada antara yang akan kau dapatkan di kehidupan sesudah ini, yakni antara surga atau neraka. Ingatlah kawan, tupai yang pandai melompat pun pasti akan jatuh!! (*)

Rabu, 01 Juni 2016

SECARIK KERTAS PUTIH

Ilustrasi

Secarik kertas putih kutemukan di atas meja
Putih tak bertulis
Kosong tak berisi
Jauh dari belaian

Secarik kertas putih
Menantiku dalam diam
Melamunkan kisah yang akan kutulis

Secarik kertas putih
Biar aku menjamah dan membelaimu
Biar aku mengisi kosongmu
Biar aku menghitamkan putihmu
dengan sentuhan pena, sahabatmu
menceriterakan kisahku yang kau lamunkan

Kupang, 1 Mei 2014